Sejarah Pembentukan Organisasi Pergerakan Pada Masa Pergerakan Nasional di Indonesia (1900-1942)



Jika dijelaskan secara diakronis, sejarah pembentukan organisasi-organisasi yang ada pada masa pergerakan nasional di Indonesia tahun 1900 – 1942 adalah sebagai berikut :

Pada saat kolonial Belanda pertamakalinya melakukan pengakuan kekuasaan atas berbagai daerah di Indonesia, pada saat itu di Indonesia sendiri kekuasaan terbagi menurut kerajaan-kerajaan berdasarkan pada luas wilayah-wilayah tertentu. Dalam rangka memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dari potensi perkebunan yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan tersebut, kolonial Belanda merasa perlu menancapkan tonggak kekuasaannya di daerah-daerah sasarannya. Para koloni tersebut menempuh berbagai cara untuk menaklukkan sasarannya. Mereka menggunakan cara keras maupun damai seperti berperang dan bernegosiasi. Setelah mengalami beberapa keberhasilan, kekuasaan kolonial semakin luas. Dengan apa yang saat itu disebut sebagai Hindia Belanda, kolonial Belanda mulai menjalankan pemerintahannya. Sistem pemerintahan Hindia Belanda di bawah pemerintah Belanda dilakukan dengan cara yang tidak sehat yaitu menekan, mengeksploitasi, memaksa dan memperdaya rakyat. Hingga sampai saatnya diberlakukan sistem tanam paksa, yang sebenarnya merupakan sistem penanaman perkebunan biasa, namun dibalut oleh keserakahan para gubernur jenderal yang mengakibatkan pelaksanaannya bersifat tidak berperi kemanusiaan. Sementara itu keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari sistem tanam paksa ini sangat dinikmati para gubernur jenderal beserta pemerintah Belanda. Tentu saja, mereka disejahterakan dan dimakmurkan oleh rakyat pribumi. Di mana kesejahteraan dan kemakmuran itu di bangun di atas peluh keringat rakyat pribumi, tumpahan darah rakyat pribumi dan nyawa-nyawa rakyat pribumi yang dijerat kencang.
Setelah sekian lamanya sistem tanam paksa ini dilaksanakan, muncullah suara tak suka dari pengamat-pengamat Hindia Belanda. Mereka ialah Douwes Dekker (Multatuli), Baron van Hoevel dan Theodore van Deventer. Multatuli menulis sebuah novel yang berjudul “Max Havelaar” (1860) yang menentang praktek tanam paksa di daerah Lebak Banten. Baron van Hoevel pun sama, dia mengkritik penyelewengan sistem penanaman di Hindia Belanda. Theodore van Deventer menerbitkan sebuah artikel yang berjudul “Een Eereschuld” dalam jurnal de Gids yang menyatakan bahwa bangsa Belanda berhutang budi kepada rakyat pribumi atas semua kekayaan yang dihasilkan dari pemerasan terhadap rakyat pribumi. Van Deventer menganjurkan, hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan memberikan prioritas utama kepada kepentingan rakyar pribumi dalm bentuk kebijakan kolonial terutama dalam kebijakan tanam paksa.
Atas usulan van Deventer ditambah dengan kemenangan kaum liberal di parlemen Belanda saat itu, pada tahun 1901 lahirlah “Politik Etis” (politik balas budi). Politik Etis mempunyai tiga poin utama yaitu pendidikan, irigasi dan transmigrasi. Pemerintah Belanda mulai membuka kesempatan bagi rakyat pribumi untuk mendapatkan kemudahan dalam ketiga poin dalam politik etis tersebut meskipun pada prakteknya, lagi-lagi tidak dapat banyak diandalkan dan lebih banyak janji di dalamnya. Keterbukaan tersebut dimanfaatkan oleh rakyat pribumi untuk bersekolah. Pemberian pendidikan sendiri bersifat individualistis dan rasis. Rakyat pribumi yang dapat mengenyam pendidikan di sini adalah para bangsawan kerajaan di bawah kendali kolonial, juga para priyayi kelas atas.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia Belanda antara lain HIS (Hollansch Indische  School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), AMS (Algemeene Middelbareschool),  Kweekschool, STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen), OSVIA (Opleiding School Voor Indische Ambtenaren), THS (Techniche Hoge School), HBS (Hogere Burgerschool) dan lainnya. Semakin banyak sekolah yang didirikan semakin besar dampak yang dihasilkan dari bidang pendidikan tersebut. Sejalan dengan keterbukaan dalam bidang ekonomi yang memberikan lapangan bagi pemilik modal, para pelajar terdidik memulai usaha dalam bidang percetakan dan penerbitan surat kabar. Mereka melihat peluang bahwa dengan perkembangan pendidikan model Barat ini banyak rakyat pribumi yang mulai mengenal huruf latin. Dengan bertambah banyak orang yang bisa mengenal huruf latin, dibutuhkan banyak bahan bacaan berhuruf latin yang sekaligus dapat menambah wawasan dan memenuhi kebutuhan akan pengetahuan dan informasi. Perkembangan surat kabar sangat cepat. Di Hindia Belanda terdapat 16 surat kabar berbahasa Belanda dan 12 surat kabar berbahasa Melayu. Kedudukan para wartawan surat kabar ini dapat dikatakan sebagai kaum intelektual atau cendekiawan bebas.
Di sisi lain, mulai terbentuk kelompok-kelompok sosial yang berisikan orang-orang terdidik yang kemudian biasa dikenal dengan sebutan golongan elit modern atau golongan priyayi baru (neo priyayi). Golongan ini mempunyai pandangan, cita-cita dan nilai-nilai baru terhadap realitas dan perubahan sosial yang diharapkan. Menurut Agusmanon Yuniadi, golongan elit moderen yang terdidik inilah yang kemudian menjadi agen pembaru dan pelopor pergerakan pembebasan.
Dalam memperjuangkan cita-cita perubahan dan pembebasan itu, mereka berusaha untuk mendorong, memajukan dan menyejahterakan masyarakat. Jalannya yaitu dengan terlebih dahulu mencerdaskan masyarakat melalui pers dan surat kabar, juga mendorong masyarakat membentuk organisasi moderen sebagai salah satu sarana komunikasinya.
Masyarakat terdorong untuk berkarier di bidang jurnalistik dan mendirikan organisasi-organisasi pergerakan, yang kegiatannya justru untuk menentang kaum yang telah mendidik mereka.
Dengan berkembangnya bidang pendidikan, jurnalistik dan organisasi, politik etis telah melahirkan organisasi-organisasi pergerakan yang berskala kedaerahan atau tradisionalisme dan kemudian berskala nasional (demi kepentingan bersama). Organisasi-organisasi ini berupa perkumpulan yang bersifat etnosentrisme, misalnya Budi Utomo, Paguyuban Pasundan dan lain-lain. Sampai tiba tahun 1928, di mana pertama kalinya nama Indonesia diteriakan oleh para pemuda dalam peristiwa Sumpah Pemuda. Robert van Niel menulis :
dalam suasana sekolah yang bersifat Barat . . . para pemuda Jawa bertemu dengan kehidupan yang berbeda dengan apa yang mereka kenal di rumah maupun di lingkungan mereka. Perbedaan itu bukan hanya dalam lingkungan fisik, tetapi jauh lebih penting dari itu, adalah lingkungan mental: barangkali secara tidak terlalu tepat dan sangat umum dianggap sebagai perbedaan antara lingkungan sikap yang sifatnya ilmiah-rasional dan sikap mistis-animistis.

Mulai dari saat itu, perkumpulan-perkumpulan (organisasi) bergerak dalam skala nasional, pergerakan-pergerakan mereka tidak lagi hanya sebatas gerakan etnis, tetapi menyeluruh, terus-menerus dan semakin radikal dengan tujuan mengumpulkan kekuatan rakyat demi menjunjung harapan akan nasib bangsanya sendiri dan identitas bangsa. Persoalan identitas nasional pada dasarnya telah diatasi, yaitu sebagai identitas yang muncul dari pengalaman bersama dalam penindasan oleh Belanda.



DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Reid, Anthony dan David Marr. -. Dari Raja Ali Haji Hingga Hamka: Indonesia    dan Masa Lalunya. -: Grafiti Pers.
Tim Penulis. 2010. Sejarah Nasional Indonesia : Zaman Kebangkitan Nasional       dan Masa Hindia Belanda. Jakarta : Balai Pustaka.
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka     Utama.
TULISAN MANDIRI
Agusmanon Yuniadi dalam Pergerakan Nasional 1900-1942

Hak Milik Tulisan : Renata Azhari, Mahasiswa Ilmu Sejarah - Universitas Padjadjaran

Komentar