1. IDENTITAS BUKU
Gus Gerr: Bapak Pluralisme & Guru Bangsa
Penulis : M. Hamid
Penyunting : Devi Indriasari
Perancang Sampul : Ferli Achirulli
Perancang Isi : Rachmad R.
Yogyakarta: Penerbit Pustaka Marwa (Anggota Ikapi)
Cet. I, 2010,
130 x 200 mm; 156 hal.
ISBN:
978-602-8316-25-5
Dicetak Oleh :
Percetakan Galangpress
Distributor
Tunggal : PT Suka Buku
2. RESUME BUKU
Buku
yang ditulis oleh M. Hamid ini adalah sebuah karya yang menarik untuk dibaca.
Pemakaian kosakata yang ringan dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti membuat
pembacanya nyaman dalam upaya memahami isi buku tersebut. Buku yang diberi
judul Gus Gerr: Bapak Pluralisme &
Guru Bangsa ini menceritakan rekam jejak K.H. Abdurrachman Wahid, yang
menurut penulis adalah salah satu tokoh bangsa yang berjuang paling depan
melawan radikalisme agama, yang keberpihakannya pada kelompok minoritas baik
dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat Kristen,
Katholik dan etnis Tionghoa membuatnya mendapat julukan sebagai Bapak
Pluralisme, seseorang yang begitu tinggi tingkatan moralitasnya dalam memandang
kehidupan secara tulus, sederhana, jujur dan penuh kebersahajaan, dan seorang
sahabat yang hangat menyapa, lucu dalam canda dan murah hati kepada sesama yang
membutuhkan.
Abdurrachman
Addakhil yang kemudian berubah nama menjadi Abdurrachman Wahid, memiliki nama
panggilan khas yang sudah tidak asing lagi di telinga rakyat Indonesia, yaitu
Gus Dur. Sosok kontroversial yang begitu melekat pada Gus Dur ternyata sudah
dimulai sejak dia kecil. Siapa yang tidak tahu dengan ketidakjelasan hari
kelahiran tokoh yang satu ini. Gus Durr sendiri pun sewaktu kanak-kanak pernah
kebingungan menerjemahkan angka pasti mengenai hari kelahirannya.
Dilahirkan
dari kalangan keluarga terhormat, memberikan Gus Dur kesempatan yang luas untuk
meraih pendidikan setinggi-tingginya. Didukung oleh kecintaan Gus Dur terhadap
membaca, alhasil Gus Dur tampak meyakinkan sebagai seorang pemikir,
intelektual, budayawan dan agamawan.
Gus
Dur yang lahir di Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 1940 dipindah ke Jakarta
tahun 1944 mengikuti tempat di mana ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama
Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri
dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah
peristiwa Proklamasi , akhir tahun 1945 Gus Dur kembali ke Jombang. Namun Gus
Dur kembali lagi ke Jakarta turut serta dengan keluarganya karena ayahnya
ditunjuk sebagai Menteri Agama pertama pada tahun 1949. Ketika memasuki SD Gus Dur juga mengikuti les
privat Bahasa Belanda. Setelah lulus SD Gus Dur tinggal di Yogyakarta. Dia juga
meneruskan sekolah ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Gowongan,
sambil mondok di Pesantren Krapyak pada 1953. Setelah lulus SMEP Gus Dur masuk
dan belajar di Pesantren Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah selama dua tahun.
Mendekati usia 20 tahun, Gus Dur pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di
pesantren Tembakberas Gus Dur menjadi sorang ustadz dan ketua keamanan. Pada
umur 22 tahun melakukan ibadah haji ke Tanah Suci dan pada tahun 1963 ke Mesir
untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar. Selama berkuliah di sana,
Gus Dur mengikuti Asosiasi Pelajar Indonesia dan menjadi jurnalis di majalah
asosiasi tersebut. Di Mesir juga ia pekerjakan di Kedutaan Besar Indonesia.
Setelah dari Al-Azhar, Gus Dur meneruskan prasarjana tahun 1966 di University
Baghdad, Irak dan bergabung di Departement of Religion pada 1970. Di sela-sela
kesibukan Gus Dur dalam dunia pendidikan, ia menikah dengan Sinta Nuriyah,
seorang gadis yang telah dikenalkan pamannya sebelum Gus Dur pergi ke Mesir. Pernikahan
jarak jauh tersebut berlangsung pada 11 Juli 1968 dan resepsinya baru digelar
pada 11 September 1971. Di Eropa Gus Dur mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim
Indonesia dan Malaysia. Gus Dur juga mengambil kesempatan berkuliah di McGill
University di Kanada. Baru pada
tahun 1971 pulang ke Indonesia dan mulai berkiprah di negeri sendiri.
Setelah
menjadi jurnalis di LP3S, penulis untk majalah Tempo dan Koran Kompas, guru di
pesantren Tambakberas, guru Kitab Al Hikam, dan Dekan di Universitas Hasyim
Asy’ari, Gus Dur mulai menjajaki dunia perpolitikan setelah menjadi Dewan
Penasihat NU dan reforman NU. Reformasi yang dilakukan Gus Dur membuat tokoh
ini menjadi sangat popular di kalangan NU. Pada Musyawarah Nasional tahun 1984,
banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk menominasilan Gus Dur
sebagai ketua baru NU. Akhirnya Gus Dur terpilih menjadi ketua PBNU pada
Musyawarah nasional tersebut. terpilihnya Gus Dur dilihat positif oleh Soeharto
dan rezim Orde Baru. Penerimaan Gus Dur terhadap Pancasila bersamaan dengan
citra moderatnya, membuat Gus Dur disukai oleh pejabat pemerintahan. Pada tahun
1987, Gus Dur menunjukan dukungan lebih lanjut terhadap rezim tersebut dengan
mengkritik PPP dalam Pemilu Legislatif 1987 dan memperkuat Partai Golkar. Ia
kemudian menjadi anggota MPR mewakili Golkar.Meskipun ia disukai oleh rezim,
Gus Dur tetap mengkritik pemerintah karena proyek Waduk Kedung Ombo yang
didanai oeh Bank Dunia. Hal ini merenggangkan hubungan Gus Dur dengan
pemerintah, namun saat itu Soeharto masih mendapat dukungan politik dari NU.
Gus Dur juga menolak ICMI, organisasi Islam boneka Soeharto, yang dianggap Gus
Dur mendukung sektarianisme dan akan membuat Soeharto tetap kuat. Pada tahun
1991, Gus Dur melawan ICMI dengan membentuk Forum Demokrasi. Waktu berlanjut malah semakin membuat jurang
politik di antara Gus Dur dan Soeharto. Setelah Soeharto kehilangan kendali
atas situasi negara yang terus menukik, ia mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai kepala negara dan segera digantikan dengan B.J. Habibie pada 1998.
Pada
Juni 1999, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ikut serta dalam arena Pemilu
Legislatif. PKB memenangkan 12% suara dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDI-P) memenangkan 33% suara. Dengan kemenangan partainya, Megawati mengira akan
memenangkan pemilihan presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-P tidak
memiliki mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli 1999, Amien Rais membentuk Poros Tengah,
yaitu koalisi partai-partai Muslim. Poros Tengah mulai menominasikan Gus Dur
sebagai kandidat ketiga pada pilpres dan komitmen PKB terhadap PDI-P mulai
berubah. Pada 19 Oktober 1999, MPR menolak pidato pertanggungjawaban
Habibie sebagai Presiden RI Ketiga. Kemudian Habibie mundur dari pilpres.
Beberapa saat kemudian, Akbar Tanjung, Ketua Golkar dan Ketua DPR saat itu
menyatakan Golkar akan mendukung Gus Dur. Pada 20 Oktober 1999, MPR kembali
berkumpul dan mulai memilih presiden baru. Abdurrachman Wahid (Gus Dur)
kemudian terpilih sebagai Presiden RI keempat dengan 373 suara, unggul di atas
Megawati dengan perolehan 313 suara.
Selama
kepemimpinan Gus Dur tidak sedikit kontroversi atas kebijakan-kebijakan dan
sikap Gus Dur dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala negara. Gus Dur juga
sering melakukan kunjungan ke luar negeri sehingga dijuluki “Presiden
Pewisata”. Pada tahun 2000, muncul dua skandal yang menimpa Presiden Gus Dur
yaitu skandal Buloggate dan Bruneigate. Dua skandal ini menjadi senjata bagi
para musuh politik Gus Dur untuk menjatuhkan jabatan kepresidenannya.
Pada
23 Juli, MPR secara resmi memberhentikan Gus Dur dan menggantikannya dengan
Megawati Sukarno Putri. Setelah lengser dari kursi kepresidenan Gus Dur tetap
aktif dalam dunia perpolitikan hingga ahir hayatnya.
Hak Milik Artikel : Renata Azhari, Mahasiswa Ilmu Sejarah - Universitas Padjadjaran
Komentar
Posting Komentar