Struktur Pendidikan di Indonesia Masa Pemerintahan Hindia Belanda


Sistem pendidikan yang kita miliki sekarang adalah hasil perkembangan pendidikan yang tumbuh dalam sejarah pengalaman bangsa kita pada masa yang telah lewat. Pendidikan tidak berdiri sendiri akan tetapi senantiasa dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi, kultural.
Pada zaman kolonial pemerintah Hindia Belanda menyediakan sekolah yang beraneka ragam bagi orang Indonesia untuk memenuhi kebutuhan berbagai lapisan masyarakat. Pendidikan bagi anak-anak Indonesia semula terbatas pada pendidikan rendah, akan tetapi kemudian berkembang secara vertikal sehingga anak-anak Indonesia, melalui pendidikan menengah dapat mencapai pendidikan tinggi, sekalipun melalui jalan yang sulit dan sempit.
            Lahirnya suatu sistem pendidikan bukanlah hasil suatu perencanaan menyeluruh melainkan langkah demi langkah melalui eksperimentasi dan didorong oleh kebutuhan praktis di bawah pengaruh kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Nederland maupun di Hindia Belanda. Selain itu kejadian-kejadian di dunia luar, khususnya yang terjadi di Asia, mendorong dipercepatnya pengembangan sistem pendidikan yang lengkap yang akhirnya, setidaknya dalam teori, memberi kesempatan kepada  setiap anak desa yang terpencil untuk memasuki perguruan tinggi.
            Sekolah-sekolah yang pada dasarnya didirikan demi kepentingan pemerintah dan perusahaan Belanda dipandang oleh rakyat sebagai jalan bagi mobilitas sosial. Elite intelektual lambat laun menyampingkan elite tradisional feodal.
Struktur pendidikan meliputi murid, guru, kurikulum, buku pelajaran, tempat belajar atau sekolah, alat belajar, biaya, manajemen sekolah dan alumni.

Pandangan Umum tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kolonial
Tak mungkin mempelajari masalah-masalah pendidikan di Indonesia pada zaman kolonial lepas dari masalah-masalah ekonomi.
Pemerintahan baru (Hindia Belanda) yang diresapi oleh ide-ide liberal  aliran Aufklarung atau Enlightenment menaruh kepercayaan akan pendidikan sebagai alat untuk mecapai kemajuan ekonomi dan sosial.

Pendidikan bagi Anak Belanda
Sekolah pertama bagi anak Belanda dibuka di Jakarta pada tahun 1817 yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah di kota-kota lain di Jawa.  Pada akhir abad ke-19 hampir tercapai taraf pendidikan universal bagi anak-anak Belanda di seluruh Indonesia. Anak-anak yang tak mampu dapat dibebaskan dari pembayaran uang sekolah.
Suatu sekolah menengah didirikan pada tahun 1860 yang membuka kesempatan bagi anak-anak Belanda untuk melanjutkan pelajarannya di universitas di negeri Belanda, atau untuk menduduki tempat yang tinggi dalam pemerintahan. Fasilitas pendidikan yang bermutu tinggi senantiasa dipertahankan selama masa kolonial yang menjaga agar anak-anak Belanda selalu mendapat pendidikan yang lebih baik daripada anak Indonesia, suatu ciri yang khas dari pemerintahan kolonial. Jalan ke perguruan tinggi telah tersedia bagi anak Belanda  pada saat hanya segelintir anak Indonesia terdapat pada sekolah rendah yang jumlahnya sedikit dan tidak membuka kesempatan memasuki pendidikan lanjutan. Selama puluhan tahun jalan satu-satunya untuk melanjutkan pelajaran ialah E.L.S (Europese Lagere School), sekolah rendah khusus untuk anak Belanda. Sekolah ini hanya menerima sejumlah kecil anak-anak Indonesia dari kalangan priyayi yang kaya. Dengan adanya pembatasan-pembatasan, pembayaran tinggi, dan kesulitan bahasa jumlahnya dapat dibatasi.
            Kurikulum sekolah mengalami perubahan radikal. Dipengaruhi oleh ide liberalisme, orang menaruh kepercayaan akan kekuasaan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian ilmiah empiris. Tujuan pendidikan bukan lagi memupuk rasa takut akan Tuhan dan pusat studi bukan lagi Kitab Injil. Pendidikan sekarang ditujukan kepada pengembangan kemampuan intelektual, nilai-nilai rasional dan sosial dan usaha mencapai tujuan-tujuan sekuler lainnya. Kurikulum sekolah rendah meliputi selain pelajaran tradisional membaca, menulis dan berhitung, juga mata pelajaran baru seperti geografi, sejarah dan pelajaran sekuler lainnya. Moralitas tidak dicapai melalui peraturan sekolah dan cerita-cerita yang mengandung tema moral agar murid memahami apa yang baik dan berbuat demikian.

Pendidikan bagi Anak Indonesia
Ide-ide liberal yang diterapkan bagi anak-anak Belanda dengan menyediakan fasilitas pendidikan secukupnya, tidak dilaksanakan bagi anak-anak Indonesia, selain adanya jumlah peraturan.  Perlu diperhatikan bahwa pemerintah hanya bertanggung jawab untuk membuat peraturan tanpa kewajiban menyediakan sekolah. Namun tampak sikap liberal terhadap masuknya anak Indonesia pada sekolah Belanda sangat minimal. Namun pendidikan bagi anak Indonesia tidak diabaikan sepenuhnya. Marsekal terkenal Daendels memerintahkan pada tahun 1808 bahwa regen-regen di Jawa bagian utara dan timur harus mendirikan sekolah atas biaya sendiri untuk mendidik anak-anak mematuhi adat dan kebiasaan sendiri, suatu tindakan yang tidak merugikan pembendaharaan pemerintah. Gubernur Jenderal Van der Capellen (1819—1823) menganjurkan pendidikan rakyat berdasarkan masyarakat desa dan pada tahun 1820 kembali regen-regen diinstruksikan untuk menyediakan sekolah bagi penduduk mengajar anak-anak membaca dan menulis dan mengenal budi pekerti baik. Anjuran Gubernur Jenderal itu tidak berhasil untuk mengembangkan pendidikan. Pada tahun 1849 hanya dua sekolah didirikan oleh regen yang aktif.
            Setelah 1848 dikeluarkan peraturan-peraturan yang menunjukan bahwa pemerintah lambat laun menerima tanggung jawab yang lebih besar atas pendidikan anak-anak Indonesia sebagai hasil perdebatan di parlemen Belanda dan mencerminkan sikap liberal yang lebih menguntungkan terhadap rakyat Indonesia.
            Peraturan Pemerintah tahun 1854 menginstruksikan Gubernur Jenderal untuk mendirikan sekolah dalam tiap kabupaten bagi pendidikan anak pribumi. Peraturan tahun 1863 mewajibkan Gubernur Jenderal untuk mengusahakan terciptanya situasi yang memungkinkan penduduk bumiputera pada umumnya untuk menikmati pendidikan. Akan tetapi tak ada jaminan itikad baik itu diwujudkan selama anggaran pendidikan dibatasi sebanyak  25.000,- Gulden..
            Pada tahun 1863 Fransen van de Putte, menteri tanah jajahan yang beraliran liberal, berhasil mempercepat pembangunan sekolah dengan menghapuskan batas biaya 25.000,- Gulden bagi pendidikan dan pada tahun 1883 anggaran itu naik sampai hampir  400.000,- Gulden.  Jumlah murid Indonesia meningkat menjadi 16.805 pada tahun 1866 dan 40.992 pada tahun 1882.
            Sejak 1890 sekolah-sekolah dari berbagai agama, termasuk sekolah Islam, yang memenuhi syarat, dapat mengajukan permohonan subsidi dari pemerintah. Menyubsidi sekolah dianggap lebih murah daripada memelihara sekolah pemerintah.
            Pemerintah tak pernah meragukan perlunya pendidikan bagi anak-anak ningrat di kalangan orang Indonesia. Pada waktu itu timbul ide untuk menyediakan pendidikan bagi anak aristokrasi dan orang kaya yang berbeda dengan pendidikan untuk orang biasa. Pendidikan yang uniform bagi semua menjadi usaha yang terlampau mahal.
Struktur  Pendidikan
Bahasa Belanda dimasukkan sebagai pelajaran di beberapa Sekolah Kelas Satu dan kursus dibuka dengan maksud, mereka yang menguasai bahasa Belanda secara kultural lebih maju dan dapat menjadi pelopor bagi yang lain.
Pendidikan yang baik tetap terbatas pada golongan atas. Untuk rakyat banyak pendidikan dijaga agar sedapat mungkin tetap rendah dan sederhana, hampir tanpa jalan keluar ke pendidikan lanjutan untuk mendapat kedudukan yang lebih baik.
Uang untuk pendidikan untuk pertama kalinya diberikan pada tahun 1848. Pada akhir 1863, 15 tahun kemudian, pemerintah mempunyai 52 sekolah bagi penduduk sebanyak 25 juta di Jawa dan delapan sekolah di luar Jawa.
Banyak perhatian diberikan kepada pendidikan anak Belanda dan pada akhir abad ke – 19 mereka bahkan mendapat kesempatan belajar yang lebih baik daripada di Nederland sendiri. Pada tahun 1902 hanya seorang diantara 523 orang di Jawa yang bersekolah, akan tetapi bagi orang Belanda satu di antara 4¾ orang menjadi murid di Hindia Belanda dibandingkan dengan satu di antara 6¼ orang di negeri Belanda. Pada tahun 1900 hanya seorang di antara 35—36.000 orang di Indonesia yang tamat sekolah rendah pemerintah, atau kira-kira sama dengan persentase anak Belanda yang lulus HBS di Nederland.
Anak-anak Belanda telah dapat memasuki pendidikan menengah sejak 1860, sedangkan pendidikan lanjutan bagi anak Indonesia baru disediakan pada tahun 1914. Sekolah menengah sebagai lanjutan sekolah rendah berbahasa Melayu tidak kunjung diwujudkan selama penjajahan kolonial. Untuk pendidikan tinggi, Hindia Belanda dianggap tidak matang karena tidak ada masyarakat ilmiahnya.
            Jumlah biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah Belanda untuk pendidikan hanya 5—10% dari apa yang dikeluarkan di Filipina. Rata-rata  33,75 Gulden per tahun dikeluarkan untuk tiap anak Belanda sedangkan untuk anak Indonesia hanya empat setangah sen per orang.
            Alasan lain pendidikan bagi anak Indonesia lambat berkembang ialah bahwa urusan penduduk selama ini diserahkan kepada raja-raja masing-masing oleh sebab katanya orang Belanda tidak ingin mengganggu adat istiadat setempat.
            Setelah anak Indonesia mendapat kesempatan memasuki sekolah menengah dan perguruan tinggi, jumlah pelajar Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan anak Belanda bahkan anak Cina.
            Dalam politik dualisme ada sekolah yang berbeda untuk berbagai golongan rasial dan sosial. Sistem pendidikan terbagi dalam dua kategori  yang jelas. Sekolah Belanda dan sekolah pribumi, masing-masing dengan inspeksi, kurikulum, bahasa pengantar, dan oembiayaan tersendiri. Dasar pembagian ini sebenarnya tidak rasial melainkan linguistik. Sekolah berorientasi barat diselenggarakan dalam bahasa Belanda, sedangkan sekolah untuk pribumi dalam bahasa Melayu atau bahasa daerah. Sekolah Belanda selama hampir seabad membuka kesempatan satu-satunya untuk pendidikan lanjutan. Pendidikan pribumi boleh dikatakan tidak memberi kesempatan meneruskan dan merupakan jalan buntu.
Ada pula dualisme lain yang terdapat dalam pendidikan bagi anak Belanda dan anak Indonesia. Anak Belanda dari golongan sosial yang tinggi memasuki sekolah Belanda (ELS) kelas satu, sedangkan anak-anak Belanda golongan rendah memasuki sekolah Belanda (ELS) bukan kelas satu. Diferensiasi serupa ini juga terdapat di kalangan pendidikan bagi anak Indonesia. Anak-anak desa memasuki Sekolah Desa dan mereka yang tinggal di kota serta pusat perdagangan dan industri memasuki Sekolah Kelas Dua.
Orang Indonesia yang bukan Belanda diharuskan membayar uang sekolah yang lebih tinggi daripada orang Belanda yang mempunyai penghasilan yang sama. Selanjutnya sekolah berbahasa Belanda dibagi dalam tiga tipe yakni sekolah untuk anak Belanda (ELS), Indonesia (HIS) dan Cina (HCS), walaupun kurikulum HCS persis sama dengan kurikulum ELS tanpa penyesuaian dengan kebudayaan Cina. Sejak 1816 sekolah satu-satunya di Jawa adalah sekolah untuk anak-anak Belanda dan setelah sekolah dibuka bagi anak Indonesia pada tahun 1848 lahirlah dualisme. Pada tahun 1864, J.A. van der Chys ditunjuk sebagai inspektur pertama untuk pengajaran pribumi.
            Anak Indonesia sejak mulanya diizinkan memasuki sekolah Belanda sekali pun dalam jumlah terbatas. Menutup kesempatan ini di kemudian hari hanya akan menimbulkan rasa tak puas yang sebaiknya dihindari oleh pemerintah dan setiap saran kearah ini ditentang mentah-mentah oleh Gubernur Jenderal dan Menteri Jajahan. (Pemerintah memainkan peranan penting dalam segala maslah pendidikan. Tak ada perubahan, betapapun kecilnya, tanpa persetujuan Gubernur Jenderal atau Direktur Pendidikan yang bertindak atasnama atasannya. Gubernur Jenderal eksekutif tertinggi yang berhak mengeluarkan peraturan setelah disetujui Menteri Jajahan. Dalam pelaksanaan tugsanya yang begitu luas itu Gubernur Jenderal dibantu oleh Sekretariat Umum yang mengurus segala korespondensi dengan kepala-kepala departemen. Selain itu Gubernur Jenderal dibantu oleh sejumlah besar pegawai negeri yang terbagi dalam sembilan departemen; Departemen Pendidikan, Agama dan Industri.)
            Ketua Kongres Pendidikan (1919) mengajukan pertanyaan apakah masih ada maknanya mendasarkan pendidikan atas perbedaan rasial dan sosial. Menurut pendapatnya pendidikan seharusnya hanya didasarkan atas kemampuan individual untuk menjamin kerja sama yang pemanen antara berbagai bangsa.
            Selama Perang Dunia I dan sesudahnya pendidikan menengah lebih terbuka bagi anak Indonesia. Sekolah menengah menerima murid tanpa memperhatikan perbedaan kebangsaan. Akan tetapi ELS dan HBS tak pernah meniadakan prinsip diferensasi.
            Sampai 1918 segala masalah pendidikan diputuskan hanya oleh pegawai Belanda saja tanpa konsultasi dengan orang Indonesia, akan tetapi dengan didirikannya Volksraad, maka orang Indonesia untuk pertama kali dalam sejarah memperoleh kesempatan untuk secara resmi mengemukakan pendapatnya dan dengan sendirinya mulai mempengaruhi perkembangan pendidikan selanjutnya. Volksraad memegang peranan aktif dalam pembicaraan tentang peraturan-peraturan, akan tetapi keputusan akhir adalah dalam tangan Gubernur Jenderal.
            Oleh sebab pendidikan dikontrol secara sentral, guru-guru dan orangtua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan. Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat.

Sekolah-Sekolah Pada Masa Hindia Belanda
Pada masa ini ada beberapa sekolah yang didirikan untuk menunjang  kepemerintahan dan kekuasaan Belanda di Indonesia, diantaranya ada  sekolah untuk anak Indonesia sebelum reorganisasi 1892, Sekolah Kelas Satu, Sekolah Kelas Dua, Sekolah Desa (Volksschool), Europese Lagere School (ELS), Hollands Chinese School (HCS), Hollands Inlandse School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Hogere Burger School (HBS), dan Algemene Middelbare School (AMS).

Dalam kesempatan ini saya akan mengambil fokus pada salah satu sekolah yaitu Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).






MEER UITGEBREID LAGER ONDERWIJS (MULO)
            Pada tahun 1903 dua kursus MULO dibuka, di Bandung dan Yogyakarta, masing-masing berkaitan dengan ELS. MULO di Bandung mulai dengan 14 murid, di Yogyakarta hanya dengan 6 orang.
Ø  Perkembangannya
Kursus MULO dimaksud sebagai sekolah rendah dengan program yang diperluas, dan bukan sebagai sekolah menengah. Sebagai guru diangkat mereka yang memiliki ijazah HA (Hoofdacte, kepala sekolah) atau diploma untuk pelajaran tertentu. Guru-guru ini ditugaskan untuk mengajarkan beberapa mata pelajaran dan bukan hanya satu mata pelajaran seperti di sekolah menengah. MULO semula merupakan lanjutan ELS dan memberikan pelajaran terminal.
            Pendirian MULO disambut dengan gembira oleh kaum Indo-Belanda dan mereka yang tidak sanggup menyekolahkan anaknya ke HBS yang mahal itu dan mempersiapkan mereka untuk bekerja di kantor.
            Kursus MULO juga dipandang sebagai cara untuk mencegah banyaknya drop-out di HBS bagi murid yang intelektual kurang mampu. Diduga bahwwa sebagian besar dari murid di HBS sebenarnya tidak pada tempatnya. Dari 147 murid yang memasuki HBS pada tahun 1907 hanya 24 orang mencapai kelas V. Namun ini tidak berarti bahwa MULO didirikan untuk murid-murid yang rendah bakat intelektualnya.
            Segera tampak kelemahan MULO karena programnya terlampau luas sehingga timbul saran untuk memperpanjangnya menjadi 3 tahun. Kelemahan lain adalah tidak jelasnya efek sipil diploma MULO secara resmi. Pada tahun 1910 setelah MULO menjadi 3 tahun dinyatakan bahwa ijazah MULO disamakan dengan keterangan naik dari kelas IV ke kelas V di HBS, karena MULO dalam segala hal kurang dari HBS. Keputusan itu segera diubah dengan menyatakan ijazah MULO dengan keterangan naik kelas dari III ke kelas IV di HBS.
            Pada tahun 1914 kursus MULO diubah menjadi MULO dan Sekolah Kelas Satu menjadi HIS. Dengan beberapa perubahan maka diadakan hubungan antara HIS dengan MULO. Bahasa Perancis yang sedianya diajarkan di Sekolah Kelas Satu dijadikan fakultatif dan pelajaran bahasa Belanda diintensifkan. Walaupun demikian karena masih kurang lancar hubungan antara HIS dengan MULO maka disarankan menambah kelas VIII pada HIS atau kelas persiapan pada MULO. Saran terakhir ternyata dianggap lebih praktis.
            MULO merupakan sekolah pertama yang tidak mengikuti pola pendidikan di Belanda, namun tetap merupakan pendidikan yang berorientasi Barat dan tidak mencari penyesuaian dengan keadaan Indonesia. Kalangan tertentu menginginkan agar MULO itu dikhususkan bagi anak-anak Belanda, akan tetapi diputuskan agar MULO suatu lembaga pendidikan bagi semua bangsa.

Ø  Kurikulum
Pada dasarnya MULO merupakan sekolah dasar dengan program yang diperluas. Kurikulumnya sebagai berikut:
            Program terdiri atas empat bahasa: Belanda, Perancis, Inggris, dan Jerman. Setengah dari waktu digunakan untuk pelajaran bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan alam, dan seperenam untuk ilmu pengetahuan sosial.
            Bagi lulusan HIS bahasa Perancis tidak diwajibkan akan tetapi diajarkan sore hari. Dengan mengenal bahasa-bahasa daerah, ada kemungkinan lulusan MULO mengenal 5—6 bahasa.







Tabel Mata Pelajaran di MULO

Mata
Pelajaran
K e l a s
I
II
III
Membaca
3
3
2
Bahasa Belanda
5
4
4
Menulis (Okasional)



Berhitung dan Matematika
8
9
7
Sejarah (Belanda dan Jajahan
1
1
2
Sejarah (Dunia)
1
1
1
Geografi
3
3
3
Ilmu Alam
3
3
4
Bahasa Perancis
2
4
4
Bahasa Inggris
4
4
3
Bahasa Jerman
4
3
4
Menggambar
2
2
2

36
36
36



Walaupun MULO dipandang sebagai pendidikan terminal, tidak ada diberikan pelajaran vokasional seperti tata buku, mengetik, stenografi, dan sebagainya.
            MULO tidak terikat pada prinsip konkordasi, akan tetapi program MULO tak banyak bedanya dengan program tiga tahun pertama HBS. Baru para tahun 1919 dimasukkan bahasa Melayu sebagai elektif.
            Fungsi MULO yang penting ialah memberikan dasar yang lebih baik bagi pendidikan kejuruan dan bagi lanjutan pelajaran. Namun dari pihak tertentu timbul keberatan untuk memberikan status sekolah lanjutan kepada MULO. Hubungan antara MULO dan HBS tak kunjung tercapai. Akan tetapi sebagai panggantinya didirikan AMS.

Ø  Guru
Guru MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) pada prinsipnya guru-guru yang sedianya disiapkan untuk sekolah rendah. Akan tetapi pelajaran MULO jauh melebihi apa yang diajarkan di sekolah rendah sehingga memerlukan guru-guru yang berkompetensi tinggi. Mereka harus memiliki ijazah HA (Hoofdacte), akta kepala sekolah. Di samping itu ijazah khusus untuk mata pelajaran tertentu. Pemerintah menggalakan kursus-kursus dan menyediakan macam-macam ujian untuk memperoleh diploma. Kursus itu ditempuh selama dua tahun sebanyak enam pelajaran seminggu.
            Pada taraf permulaan cukup tiga orang guru untuk menjalankan kursus MULO, masing-masing guru mengambil beberapa mata pelajaran. Setelah MULO berkembang menjadi substruktur AMS setiap mata pelajaran diberikan oleh seorang guru khusus. Guru MULO mendapat tambahan gaji sehingga kedudukannya terhormat. Kecuali guru bahasa Melayu atau daerah, seluruh staf terdiri atas orang Belanda, walaupun tak ada peraturan yang melarang orang Indonesia menjadi guru MULO. Bagi guru Indonesia tak mungkin untuk mencapai gelar HA, kecuali bila ia belajar di Nederland dan karena itu kesempatan mengajar di MULO merupakan monopoli guru-guru Belanda.

Ø  Inspeksi
Karena MULO pada dasarnya sekolah rendah, maka pengawasnya diserahkan kepada inspeksi pendidikan rendah. Walaupun pihak tertentu menentang MULO sebagai pengajaran lanjutan bagi lulusan HIS dan mengemukakan bahwa anak-anak Indonesia tidak sanggup mengikuti pelajaran karena kesulitan dalam bahasa Belanda,  pemerintah bersungguh-sungguh agar hubungan antara HIS dengan MULO berhasil baik. Untuk itu maka diangkat inspektur MULO.
            Akhirnya ternyata bahwa MULO merupakan suatu sukses besar.

Ø  Penerimaan dan Populasi Murid
Kursus MULO yang sedianya dimaksud sebagai lanjutan ELS selama sepuluh tahun pertama terutama dihadiri oleh anak-anak Belanda. akan tetapi setelah reorganisasi tahun 1914 sekolah itu terbuka bagi lulusan ELS, HCS, maupun HIS.

Ø  Murid Menurut Kebangsaan
Walaupun pada mulanya murid-murid terutama berasal dari ELS
kemudian HIS-lah merupakan sumber utama bagi murid-murid MULO.




Tabel Jumlah Murid Menurut Kebangsaan

Jumlah Murid
Persentase
Tahun
Belanda
Indonesia
Cina
Belanda
Indonesia
Cina
1912
363
19
14
91,7
4,8
3,5
1914
553
192
55
69,1
24,0
6,9
1918
640
277
72
63,7
28,0
7,3
1920
1.299
1.132
203
119,2
42,9
7,8

Persentase murid Indonesia meningkat dari 4,8% (1912) menjadi 24% (1914) dan hampir sama (1920). Pada tahun 1920 ini jumlah murid non-Belanda melebihi jumlah murid berkebangsaan Belanda dan selanjutnya anak Belanda merupakan minoritas HBS, sebaliknya senantiasa didominasi oleh murid keturunan Belanda.

Ø  Murid Menurut Seks
Karena adat istiadat belum diterimanya ide tentang wanita sebagai pegawai kantor, pertimbangan finansial yang mendahulukan anak pria, perkawinan gadis pada usia muda dapat dipandang sebagai alasan maka jumlah murid wanita lebih kecil dari murid pria Indonesia. Pada orang Belanda tidak ditemui keberatan-keberatan serupa itu. Bahkan di MULO anak Belanda wanita senantiasa melebihi jumlah anak pria karena mereka lebih menyukai MULO yang lebih singkat daripada HBS. Pada tahun 1920 jumlah anak wanita Belanda 57%, Indonesia 17,2%, dan Cina 14,2% dibanding dengan jumlah murid pria.
Walaupun persentase murid wanita jauh lebih kecil dibandingkan dengan murid pria, kenyataan bahwa ada murid wanita Indonesia di MULO telah menunjukan perubahan sikap terhadap pendidikan wanita yang telah merintis jalan ke arah emansipasi wanita.

Ø  Murid Menurut Status Sosial Orang Tua
Pada dasarnya sekolah-sekolah berbahasa Belanda dimaksud sebagai sekolah untuk golongan elite, namun dalam praktik ternyata bahwa sekolah itu juga dimasuki anak-anak dari golongan rendah. MULO, yang memberikan kesempatan melanjutkan pelajaran, membbuka kesempatan untuk memperoleh kedudukan yang baik yang sediakala ditempati oleh kaum ningrat. Jadi, MULO merupakan alat penting dalam mobolitas sosial. Lambat laun pendidikan atau perkembangan intelektual  dan bukan golongan sosial merupakan faktor utama yang menentukan kedudukan sosial. Elite aristokrasi tradisional mulai digeser oleh elite intelektual baru. Orang tua golongan rendah rela mengirimkan anaknya ke MULO yang relatif sangat mahal dengan pengorbanan yang luar biasa dengan harapan mendapatkan kedudukan yang lebih baik di masa depan, bagi anaknya.
            Pada tahun 1920 dari 18 MULO sebanyak 12 buah di Jawa, tiga di Sumatera, dua di Sulawesi dan satu di Ambon. Anak-anak yang memasuki MULO sering harus meninggalkan kampung halamannya untuk belajar di MULO di kota besar. Biaya perjalanan, penginapan, pakaian, uang sekolah dan pengeluaran lainnya sungguh beban finansial berat yang harus dipikul oleh orang tua.

Ø  Kesempatan Belajar di MULO
Rata-rata 40% dari murid yang memasuki MULO berhasil melalui sekolah ini. Prestasi murid Indonesia lebih tinggi sedikit daripada yang lain mungkin karena seleksi yang lebih ketat. Oleh sebab MULO satu-satunya sekolah untuk melanjutkan pelajaran maka persaingan masuk sangat ketat. Anak-anak Belanda lebih mudah memasuki MULO dan selain itu mereka dapat pula memasuki HBS.

Ø  Lulusan MULO
Mereka yang berhasil menamatkan MULO sebanyak 50% melanjutkan pelajarannya, kebanyakan ke sekolah kejuruan, sebagian ke HBS, dan bagian yang lebih besar ke AMS. Kira-kira sepertiga lagi tidak melanjutkan pelajarannya. Maka MULO mempunyai tiga fungsi yakni (1) sebagai substruktur AMS, (2) sekolah persiapan untuk berbagai sekolah kejuruan dan (3) sekolah terminal bagi mereka yang tidak melanjutkan pelajarannya.


Ø  Kesimpulan dan Tinjauan
Berbagai faktor mempengaruhi didirikannya MULO (1) murid-murid Indonesia yang puluhan ribu jumlahnya pada Sekolah Kelas Satu tak mungkin dibiarkan begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya. Padahal anak Cina yang sebenarnya asing, telah lebih dahulu diberikan kesempatan serupa itu. (2) Berbagai kursus persiapan bagi calon-calon pendidikan pegawai, ahli hukum, dokter, dan sebagainya, ternyata tidak serasi dan harus diganti dengan MULO. Sebelumnya hanya lulusan ELS yang diterima untuk berbagai sekolah latihan itu yang menyebabkan membanjirnya anak-anak Indonesia ke ELS. Jadi MULO juga dimaksud untuk membendung “invansi” anak-anak Indonesia ke ELS (3) MULO didirikan sebagai lambing pendidikan nasional.
            Dari segi organisasi MULO mempunyai kedudukan yang penting. Dengan adanya MULO dan diubahnya Sekolah Kelas Satu menjadi HIS maka bagi anak-anak Indonesia terbuka jembatan untuk memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya. Maka karena itu dibukanya MULO merupakan suatu tonggak yang sangat penting dalam sejarah pendidikan Indonesia. Dibukanya AMS sebagai superstruktur MULO merupakan langkah ke perguruan tinggi.
            MULO akhirnya meniadakan ujian pegawai rendah (Klein Ambtenaars Examen). MULO membuka jalan untuk melampaui batas-batas social dan merupakan badan yang ampuh untuk melenyapkan dominasi aristokrasi. Maka timbullah elite intelektual baru.

Sumber : buku Sejarah Pendidikan Indonesia karya Prof. Dr. S. Nasution, M.A.

Komentar