Pada
tahun-tahun awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia, bangsa ini belum
sepenuhnya terlepas dari belenggu pemaksaan kekuasaan pihak asing, terutama
para penjajah yang sebelumnya telah merasakan memegang kendali atas sebagian
besar wilayah di Indonesia. Karena pihak asing bermaksud untuk memunculkan
kekacauan pada bangsa yang baru lahir ini. Yang membuat kondisi nasional belum
stabil.
Akibat
yang disisakan oleh bekas-bekas penjajahan pihak asing itu telah membuat jurang
perbedaan. Pembagian stratasosial baik itu secara vertikal maupun horizontal.
Yang dikemudian hari akan mempengaruhi perjalanan dunia pendidikan di
Indonesia.
Perkembangan
dunia pendidikan di Indonesiabelum pesat, pada zaman itu tidak terlepas dari
keadaan sosial masyarakatyang bersifat kedaerahan.
Ketika tanggal 27
Desember 1949 diadakan pengakuan kedaulatan menjadi RIS, Republik Indonesia
Serikat. Pada masa ini terjadi ketidak harmonisan di antara masyarakat. Dalam
kondisi seperti inipendidikan belum bisa diutamakan, karena pemerintah masih
mengutamakan keamanan, maka jumlah sekolah masih sangat minim. Dan kemudian ada
gerakan yang menuntut supaya diadakannya universitas negeri di Bandung juga dan
juga barulah nanti mulai bermunculan universitas di daerah lain yang bertambah tidak hanya di UGM –Universitas
Gadjah Mada. Di Bandung mula-mula ada yang namanya Universitas Merdeka. Yang
lalu di ubah statusnya menjadi universitas negeri dan kemudian berubah nama
menjadi Universitas Padjadjaran. Universitas Padjadjaran lahir pada hari Rabu 11 September 1957. Bertempat di Dipati Ukur.
Adapun
nama “Padjadjaran” diambil dari nama Kerajaan Sunda, yaitu Kerajaan Padjadjaran
yang dipimpin oleh Prabu Siliwangi atau Prabu Dewantaprana Sri Baduga Maharaja
di Pakuan Padjadjaran (1473-1513 M). Nama ini adalah nama yang paling terkenal
dan dikenang oleh rakyat Jawa Barat, karena kemashuran sosoknya di antara
raja-raja yang ada di tatar Sunda ketika itu (http://www.unpad.ac.id/universitas/sejarah/).
Terdapat banyak fakultas di Universitas Padjadjaran yang
salah satunya adalah Fakultas Sastra. Fakultas Sastra Unpad secara resmi dibuka pada 1 November 1958. Fakultas
Sastra merupakan fakultas ke-8 di Unpad, dan pada awal berdirinya memiliki 4
jurusan program sarjana yaitu Bahasa dan Sastra Indonesia dan Sunda, Bahasa dan
Sastra Inggris, Sejarah, serta Bahasa dan Sastra Perancis (http://www.unpad.ac.id/fakultas/ilmu-budaya/).
Terbentuknya
jurusan Ilmu Sejarah diprakarsai oleh Ketua Arsip Nasional Raden Mohammad Ali.
Dalam kinerjanya untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja atau tenaga pendidik,
Moh Ali ini merekrut dosen-dosen dari universitas lain seperti dari IKIP dan
UI. Terdapat juga dosen tidak tetap yang mengajar pada jurusan Ilmu Sejarah.
Bukan hanya dari etnis Sunda tetapi ada juga dari Jawa dan Chinese. Dalam dunia
pendidikan sendiri terjadi benturan antara
suku dengan suku di dalam kerja sejarah.Dari kalangan Chinese ini ada The Tjeng Sioe, yang kemudian malah berhasil
menjadi ketua jurusan di tengah situasi politik pendidikan yang sedang gencar
melakukan gerakan-gerakan anti etnis selain Sunda..The Tjeng Sioe adalah alumni IKIP Bandung, pengajar Sejarah Barat. Selain menjadi guru SMA, dan dosen, The Tjeng Sioe juga menjadi ekspotir tembakau.
Menurut penuturan mahasiswa
yang dekat dan pernah diajari oleh The
Tjeng Sioe, cara mengajar
The Tjeng Sioe sangat metodis, enak, dan mudah dipahami.
Namun di
lingkungan sejarah sendiri ketika The Tjeng Sioe ini menjabat sebagai ketua
jurusan, tidak terdapat gejolak antar etnis yang sedang hidup itu. Hubungan
antar mahasiswa dengan dosen berjalan dengan baik, tidak terdapat indikasi
adanya pemikiran apalagi gerakan untuk menghidupkan perbedaan tersebut.
Namun saat The
Tjeng Sioe menjabat sebagai ketua jurusan, jurusan Ilmu Sejarah dibekukan oleh
dekan dengan alasan jurusan tetap
mengadakan mata kuliah Bahasa Belanda, sedangkan Presiden Soekarno sedang
berusaha merebut Irian Barat dan melarang pemakaian Bahasa Belanda dimanapun.
Lalu pada tingkat satu jurusan Ilmu Sejarah dibubarkan menjadi Antropologi,
untuk tingkat dua dan tiga tetap menunggu keputusan selanjutnya. Namun
masyarakat Ilmu Sejarah enggan, menolak untuk dibubarkan.
Dengan menggunakan Himpunan
Sejarah, masyarakat sejarah memberikan selebaran kepada ketua jurusan The Tjeng
Sioe menuntut kembali hidupnya jurusan sejarah. Kemudian
agar tidak jadi dibubarkan, Moh. Ali menyarankan untuk mengubah Bahasa Belanda
hakikatnya sebagai bahasa sumber. Dan The Tjeng Sioe akhirnya membawa wacana
penolakan pembubaran tersebut ke dalam rapat fakultas. Dan akhirnya kemudian
jurusan Ilmu Sejarah tidak jadi dibubarkan dengan menerima keputusan Bahasa
Belanda berubah menjadi bahasa sumber.
Sumber Referensi : Wawancara Renata Azhari dan Siti Rohhima Lina dengan Ahmad Mansur Suryanegara, mantan dosen Ilmu Sejarah di Universitas Padjadjaran. Pada Senin, 17 Juni 2013.
Komentar
Posting Komentar